Minggu, 09 Juli 2017

Setia dengan perkara kecil

Di wilayah layanan Wahana Visi Indonesia ADP Kubu Raya ada isu “keramaian” pada masyarakatnya. Keramaian merupakan kebiasaan masyarakat wilayah ini, dimana ketika ada pesta misalkan perkawinan dan pesta rakyat lainnya, maka pada kegiatan tersebut ada dibuat untuk pasangan pria dan wanita berjoget bersama dengan saling menempelkan tubuh mereka satu sama lainnya dengan diiringi musik. Pesta ini akan berlangsung selama beberapa hari dan anak-anak pun menonton joget tempel ini. Selain itu, ada juga kebiasaan yang mengikuti seperti judi, minum tuak, dll.
Oleh karena itu, maka ADP Kubu Raya melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan melakukan beberapa kegiatan untuk membangun system perlindungan anak di masyarakat. Salah satunya dengan mengadakan pelatihan Perlindungan Anak bagi para kader di mayarakat yang telah dilakukan sebanyak 4 kali yang berisi tentang pelatihan perlindungan anak mengenai UUPA dan KHA, pelatihan bagi pelatih mengenai UUPA dan KHA, menjadikan organisasi yang ramah anak, serta pelatihan Perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat. Dampak dari pelatihan ini, para kader sudah melakukan kegiatan sosialisasi perlindungan anak di desa yang di managemen oleh para kader sendiri di beberapa desa sehingga masyarakat sendiri ada dalam kesadaran bahwa perlindungan anak harus diupayakan bersama-sama oleh masyarakat sendiri dan juga semakin banyak orang yang terpapar dengan hak anak di desa.
Penulis beberapa kali mendapat kesempatan untuk hadir dalam kegiatan di wilayah layanan ADP Kubu Raya dan Tuhan pertemukan dengan seorang Ibu bernama Katarina Irin sejak awal pelatihan ini dibuat. Penulis bersyukur melihat perkembangan yang signifikan dari Ibu Irin-nama sapaan akrabnya-melihat semangat beliau untuk mensosialisasikan perlindungan anak di desanya.
Siapa ibu Irin? Beliau seorang yang tidak berpendidikan tinggi yang sehari-harinya melakukan pekerjaan ibu rumah tangga yang penampilannya sederhana dan belum terbiasa untuk berbicara di depan banyak orang. Namun setelah dilatih menjadi fasilitator perlindungan anak, maka akhirnya beliau sekarang mampu untuk menjadi seorang fasilitator. Di kesempatan perdananya menjadi fasilitator dengan didampingi penulis seringkali beliau terbata-bata dan meminta konfirmasi dari penulis untuk hal-hal yang disampaikannya. 
Sekarang, sudah beberapa kesempatan penulis melihat Ibu Irin menjdi fasilitator dan udah ada kepercayaan diri yang nampak ketika Ibu Irin memfasilitasi. Selalu Tuhan memakai manusia biasa dalam membuat sejarah. Hanya butuh ketaatan untuk mau dibentuk untuk menolong kita menjadi pribadi yang luar biasa. Melalui kisah ini, penulis menjadi teringat dengan kitab Mat 25:21: “….engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar….”. Seorang ibu rumah tangga yang mau belajar ini akhirnya menjadi fasilitator perlindungan anak didesanya bahkan beberapa waktu yang lalu penulis melihat Ibu Irin telah menjadi aktivis Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat dan mereka bersama-sama membuat sebuah video perlindungan anak yang berjudul “film pendek patbm panogoh” yang diupload di youtube.

Sebagai staf Wahana Visi Indonesia, penulis bersyukur melihat perubahan yang ada di masyarakat. Tuhan menjawab doa kita bersama di ADP Kubu Raya. “Doa kami untuk setiap hati…” menjadi sebuah slogan organisasi yang bermakna bagi penulis. Semoga visi organisasi “Visi kami untuk setiap anak hidup utuh sepenuhnya, doa kami untuk setiap hati, tekad untuk mewujudkannya” juga menjadi bermakna bagi Anda semua. 

Kerjasama diantara Pemerintah Desa penting

Kerjasama diantara pemerintah desa penting”, demikian ucap Pak Yamin (40 th) yang juga adalah ketua Badan Pemerintah Desa Pelempai jaya, wilayah dampingan WVI ADP Melawi, Kalimantan Barat. Penulis bersama team tertarik melakukan perkunjungan bertemu dengan pemerintah desa ini karena pemerintah desa Pelempai Jaya telah mengusahakan supaya 100 % akta lahir dan 100 % ODF (Open Defecation Free-Stop Buang Besar Sembarangan) di desa.
Desa ini  memiliki 4 dusun namun dan pemerintah desanya optimis tahun ini di 4 dusun bisa ODF. Saya  berharap desa bisa jadi percontohan supaya bisa mempengaruhi desa-desa sekitarnya. Kami merasa terbantu dengan kehadiran WVI”, ucap Pak Yamin. Ketika beberapa desa disekitarnya belum bisa mengupayakan ODF dan pemenuhan akta lahir, beliau mengakui kuncinya adalah kerjasama diantara pemerintah desa karena seringkali BPD dan kepala desa tidak sepaham mengupayakan kesejahteraan masyarakat desa
Sejak diawal pelayanan WVI ADP Melawi di desa Pelempai Jaya pada tahun 2013, Pak Yamin ternyata pernah diam-diam mencari informasi mengenai WVI karena identitas organisasi sebagai organisasi Kristen. Namun beruntunglah beliau mengenal salah seorang rekannya yang juga mengenal pelayanan WVI di wilayah dampingan ADP Sambas, Kalimantan Barat sehingga identitas WVI tidak menjadi persoalan baginya. Beliau juga melihat pemikiran tentang anak sejalan dengan pemerintah.

Tantangan yang ditemui Pak Yamin selaku kepala BPD bersama pemerintah desa adalah kurang pemahaman masyarakat mengenai pentingnya WC dan akta lahir serta identitas organisasi, tapi hal ini tidak mempengaruhi mereka. Kerjasama dan pengarahan yang diberikan oleh pemerintah desa akhirnya berpengaruh pada perubahah di masyarakat melalui program-program yang dikerjakan saat ini bersama dengan WVI yaitu: pemenuhan akta lahir, PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Masyarakat), Forum Anak, dan perilaku stop buang air besar besar sembarangan. Pak Yamin menyadari bahwa WVI tidak selamanya akan mendampingi desanya, tapi beharap bahwa desanya suatu saat bisa maju karena ada perubahan yang dimulai dari masyarakat dan anak-anak desa yang menjadi fokus pelayanan WVI. Dia berharap, “suatu saat (yang dikerjakannya) bisa bermanfaat bagi orang lain”, ucapnya pada kesempatan kali ini.

Gara-gara WVI, tahu perlindungan anak

Namanya Ibu Jenna (44 th), seorang petani karet yang memiliki tiga orang anak di desa Remayan, wilayah dampingan WVI ADP Melawi, Kalimantan Barat. Sekilas tidak ada yang istimewa dengan ibu ini ketika berjumpa dengannya, namun ibu inilah yang memperjuangkan supaya desanya bisa mendeklarasikan ODF (Open Defecation Free-Stop Buang Besar Sembarangan). Semua rumah di desa Remayan memang akhirnya memiliki WC sebagai buah dari kerja kerasnya bersama pemerintah desa. Selain menjadi kader Perilaku Hidup Bersih Sehat, ibu Jenna juga menjadi kader Posyandu. “Saya ingin masyarakat sadar tentang kesehatan dan itu akan saya turunkan ke anak-anak (saya) supaya jadi berkat”.
Masyarakat desa Remayan memang tinggal di tepi sungai sehingga sudah sejak lama warganya memiliki kebiasaan untuk buang air besar di sungai. Dalam melakukan pemicuan untuk mendorong masyarakat membangun wc memang perlu usaha keras namun sabar karena disadarinya merubah kebiasaan memang tidak mudah. Setelah memiliki wc sendiri dan merasakan sendiri manfaatnya, beliau berharap masyarakat desa juga memiliki wc di rumah masing-masing. Dulu, beliau mengakui sebenarnya sudah pernah putus asa karena kesadaran masyarakat akan pentingnya WC rendah dan dikatakan sombong oleh masyarakat desa namun karena didorong oleh staf WVI dan dukungan suami akhirnya semangat itu tumbuh kembali. Namun sekarang desa Remayang telah terverifikasi sebagai desa ODF, dimana semua rumah di desa sudah memiliki wc. “Terima kasih buat WVI, sekarang masyarakat sudah enak buang air besar di wc”, ucapnya.
Ada dua kisah yang diingatnya sewaktu memperjuangkan pembangunan wc bersama masyarakat desa. Salah satunya adalah ketika ada masyarakat yang tidak memiliki lahan untuk membangun wc dan ibu Jenna harus meminta izin lahan kepada pihak gereja dan akhirnya mendapat persetujuan. Kisah lainnya adalah ketika salah satu rumah yang dihuni oleh seorang nenek janda yang tidak dapat membangun wc karena usia. Beliau mengajak masyarakat desa untuk bergotong-royong membangun wc di rumah tersebut. “seumur-umur ini tidak pernah saya nyangkul, tapi supaya bisa ODF akhirnya nyangkul juga di rumah nenek janda itu ”, sembari mengingat kisah tersebut.

Gara-gara WVI tahu perlindungan anak. Dulu suka cubit dan maki-maki tapi sekarang nahan-nahan diri. Sekarang juga lebih percaya diri dan berani” ketika ibu Jenna menceritakan dampak lain yang dirasakannya setelah mengenal WVI dan hal ini dibenarkan juga oleh salah satu anak ibu Jenna. Beliau berharap pendampingan oleh WVI bisa tetap dilaksanakan karena masyarakat desa telah merasakan manfaatnya.

“BAHAGIA ANAK-ANAK, BAHAGIA PAK UTUT”

Pak Utut adalah seorang RT di salah satu wilayah layanan Wahana Visi Indonesia (WVI) ADP Kubu Raya tepatnya di kecamatan Ambawang, Desa Pancaroba, Dusun Sangku’. Beliau adalah seorang tokoh masyarakat yang lahir dan dibesarkan di desa ini.
Sudah sejak tahun 2013 beliau mengenal WVI ADP Kubu Raya melalui perjumpaannya dengan Adrian Ng, staf WVI yang saat itu bertugas di wilayah ini, karena sering melakukan perkunjungan ke rumah salah satu anak Pak Utut. Perjumpaan inilah yang membuatnya mengenal organisasi dan merasa senang ketika berjumpa dengan anak-anak karena melihat perubahan pada anak-anak desa. Selain itu, dia juga melihat perubahan dari pemuda yang dikenalnya dan anak dari keponakannya yang mengikuti beberapa kegiatan WVI
Sudah lama beliau berkontribusi menyediakan rumahnya untuk menjadi tempat kegiatan anak maupun tempat menginap beberapa staf karena “harus” tinggal di desa.  “Rumah ini dipake karena kita harus memiliki jiwa sosial dan kegiatan ini bermanfaat untuk anak-anak” demikian penuturan Pak Utut
Dulu, di depan rumahnya didirikan sebuah bangunan untuk les komputer bagi anak-anak desa tetapi karena pengajarnya tidak aktif lagi sehingga tidak jalan. Ruangan itu kemudian berubah fungsi menjadi taman bacaan anak atas permintaan salah satu anaknya setelah berdiskusi dengan WVI. Beliau merelakan bagian depan dari halaman rumahnya untuk dibangun taman bacaan anak. Saat ini taman bacaan yang dibangun di halaman rumahnya telah rusak dan sedang dalam proses renovasi namun masih tetap dapat dipergunakan.
Beliau telah melihat ada perubahan karakter anak-anak desa dari yang lebih rajin dibandingkan sebelumnya, pikiran mereka terbuka, dan berkegiatan bersama secara positif (Forum Anak). “saya berharap saat anak-anak mengikuti pertemuan di WVI, masa depan mereka bisa maju. Mereka (WVI) didik anak-anak kita kan bagus.Saya sudah lihat buktinya”  ungkapan Pak Utut di akhir pertemuan kami.
Dulu beliau pernah menyampaikan masukan kepada staf WVI,“Aku ada omong sekali sama Adrian. Kalau bisa kasihlah waktu supaya kita bisa pulang sore. Dulu biasa kita pulang sampai jam 7 atau 8 malam dan ada resikonya (bagi anak-anak)” ungkapnya. Masukan ini sangat baik sehingga WVI mempertimbangkan hal ini saat berkegiatan bersama anak.

Seringnya kegiatan WVI di rumah Bapak Utut ternyata membawa perubahan pula bagi keluarganya, yaitu ponakan dan cucu-cucunya menjadi ramah terhadap tamu dan mau membereskan rumah.

Tulisan ini sudah di upload ke website World Vision International
http://wvi.org/indonesia/article/childrens-happiness-my-happiness

Selasa, 06 Juni 2017

Surat seorang anak untuk ibu

Pontianak, 070617
Pagi ini dalam perjalanan menuju ambawang kumainkan jari jemariku untuk membuka facebook sambil sesekali melayangkan pandang ke jendela berharap bisa tiba sesegera mungkin karena perutku sedang tidak bersahabat dengan perjalanan ini.
Sambil sesekali tertawa kecil melihat postingan lucu di facebook kawan, melihat aktivitas rekan2 sekerja di kabupaten lain yang luar biasa mendedikasikan dirinya untuk anak-anak dan masyarakat. Tiba-tiba rasa penasaran pun menyeruak ketika membaca postingan ini.
Bulan 3, tanggal 8, hari Selasa. Ini adalah hari ibu.
Hari ini aku ingin berterima kasih pada mama, setiap hari sangat sibuk dan bersusah payah.
Awalnya, aku ingin bercerita pada mama, tapi sepertinya mama tidak begitu suka mendengar cerita ku. Terus menatap HPnya. Ini membuat aku sedih. Aku berpikir, mungkin dengan memberikan ucapan-ucapan selamat, mama akan lebih senang.
Jadi, aku mengucapkan selamat hari ibu pada mama, namun mama tetap saja melihat HPnya. Aku semakin sedih lagi. Alu berpikir, cara ini pun tak berhasil, aku coba memijat punggung mama.
Saat mulai memijat punggung, aku berusaha sekuat tenaga, tapi mama tetap saja mama melihat HPnya. Diwajahnya tak ada senyuman. Aku semakin sedih lagi, bersiap mencuci kaki mama ku.
Setelah mencuci kakinya, mama akhirnya tidak melihat HP lagi, hatiku sedikit senang. Aku berusaha mencuci sebaik mungkin. Setelah selesai, aku berharap mendapat sedikit pujian, namun mama malah mengatakan, 'hari ini cuci kakinya lumayan, disiram sedikit lagi sudah boleh." lalu mama keluar dari kamar, sebelum menutup pintu, tidak lupa ia mengatakan, 'jangan lupa menulis diari'.
Inilah cerita sedih ku melewati hari ibu."

Sedih namun inilah realita yang tulus diungkapkan seorang anak tetapi juga sudah menjadi hal yang lumrah di zaman ini.

Kita tidak bisa serta merta juga menyalahkan teknologi komunikasi karena zaman ini akan terus bergerak. Bagaimana kita menyikapinya? Pilihan ada di tangan Anda.