Rabu, 23 Juli 2014

Pendidikan di tengah Kemerdekaan Indonesia ke-69

Beberapa waktu lalu penulis melihat tayangan televisi melalui siaran Kick Andy-Metro TV. Kali ini mengupas tentang para penggiat pendidikan di Indonesia. Sebenarnya saat itu, penulis tertarik karena cuplikan tokoh pendidikan, Anies Baswedan-penggagas program Indonesia Mengajar. Selain itu, penulis mengagumi beliau saat menjadi Ketua Tim Pemenangan Jokowi-JK tanpa ingin mendapat imbalan apa-apa."orang baik harus didukung"-demikian kata beliau.

Tapi yang tidak kalah menarik melihat para penggiat pendidikan ini adalah oranmg-orang yang berada di bawah naungan Wahana Visi Indonesia (sebuah LSM asing yang berkonsentrasi dengan masalah anak)-dimana penulis mendoakan untuk bisa terlibat didalamnya dan bergabung menjadi salah satu karyawannya.

Dalam acara tersebut, ditampilkan seorang tokoh bernama Marthen Sattu Sambo seorang penggiat pendidikan di tanah Papua. Dikisahkan mengenai perjuangan beliau semenjak kecil yang lahir dan bertumbuh dari sebuah desa kecil di Tana Toraja, sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan dengan kondisi yang miskin. Salah satu kisah beliau dimana akan melanjutkan kuliah dengan mendapat beasiswa di UKSW jurusan Fisika namun karena tidak memiliki biaya bersama dengan seorang temannya meminjam uang sebesar @Rp. 50.000,- kepada salah seorang guru Fisika di desa mereka. Ada pula kisah dimana beliau karena tidak memiliki biaya hidup harus mengajar les kemudian tidak makan hampir 2 hari (hanya minum air putih) dan makan kerupuk setelah menemukan uang recehan sebesar Rp.500,- dan akhirnya harus masuk Rumah sakit dan di opname karena lemas. Sejak awal keluarganya tidak mendukung untuk beliau untuk melanjutkan studi tetapi beliau berjuang dan akhirnya bisa menyelesaikan studi dengan nilai sangat memuaskan. Karena mendapat banyak pertolongan dari orang-orang disekitar beliau sehingga Marthen membaktikan diri kepada bangsa ini di sektor pendidikan dan akhirnya bergabung dengan Wahana Visi Indonesia di tanah Papua. Ini hanyalah secuil kisah tentang seorang anak muda yang prihatin dengan kondisi pendidikan di tanah pendidikan.Seorang patriotik yang "sempat mencuat" melalui televisi diantara beratus-ratus bahkan mungkin ribuan orang yang berjung untuk memajukan pendidikan di tanah Republik Indonesia ini tapi tidak nampak dalam layar televisi. Salah satu yang pernah kita kenal adalah "Butet Manurung" yang membaktikan dirinya mengajar bagi Suku Anak Dalam di kepulauan Borneo. 
Penulis sempat berpikir tentang pendidikan di Republik ini. Didalam UUD 1945 pasal 28 C ayat 1 dikatakan bahwa : Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Namun apakah setiap rakyat Indonesia mendapatkan haknya di biang pendidikan dan memperoleh manfaat dari iptek agar kualitas hidupnya meningkat??
Realita yang banyak menguak di media sudah seringkali kita lihat adalah kualitas bangunan sekolah yang tidak layak, minimnya tenaga pengajar, minimnya fasilitas pendidikan seperti komputer, dan lain-lain. Tentu saja kondisi seperti ini sulit didapatkan di daerah perkotaan dan akan banyak ditemui di daerah terpencil yang sulit terjangkau oleh jalur transportasi. Sekali lagi, penulis bersyukur untukTuhan yang menghadirkan orang-orang seperti Marthen Sattu yang rela meninggalkan kenyamanan hidupnya, rela meninggalkan kampung halamannya untuk anak-anak di tanah Papua yang tidak semuanya mengenyam pendidikan sehingga kulitas hidup anakanak Papua nantinya akan seperti anak-anak di tanah Jawa.
UUD negara kita secara tertulis mendefinisikan makna adanya pendidikan terhadap anak-anak salah yaitu meningkatkan kualitas hidup demi kesejahteraan umat manusia. Hal yang paling mendasar dari pentingnya pendidikan adalah meningkatkan kualitas hidup. Mengapa penulis berkata demikian?? Hal ini dikarenakan pendidikan menolong orang untuk menggunakan akal dan pikirannya secara benar. Setiap orang dianugerahi pikiran dan akal budi bukan? Tetapi banyak orang yang berakal budi tetapi tidak dipergunakan dengan benar dan mengabaikan nilai-nilai pendidikan moral. Kualitas hidup yang penulis maksud disini bukanlah melulu masalah duit melainkan hidup yang berkualitas. Berkualitas bagi diri sendiri dan berkualitas bagi orang lain.Dengan kata lain memberi dampak.
Setelah berkualitas, maka akan memberi kesejahteraan bagi umat manusia. 
Lihat saja damapak pendidikan membuat manusia untuk mencipta "sesuatu". Menciptakan sesuatu agar berguna bagi seluruh umat manusia. Jika sebuah negara mendidik warga negaranya memeras otak untuk menciptakan inovasi maka rakyat terbiasa untuk "memeras" otaknya sehingga menjadi "rakyat" yang tangguh. Sebut saja Jepang. Negara ini hampir setiap tahu harus mengalami tsunami hebat yang meluluhlantahkan kota-kotanya sehingga sarana prasarana umum di kotanya juga "hancur" seperti jembatan, gedung-gedung, dsb. Karena secara geografis daerah ini memang adalah daerah yang selalu mengalami tsunami. Namun, dengan kondisi seperti ini lahirlah para insinyur-insinyur "tangguh" yang memanfaatkan otaknya membangun infrastruktur kota yang mampu bertahan di tengah guncangan tsunami. Mereka terus berinovasi setiap tahunnya untuk berjuang. Dan hal ini mendidik jiwa tangguh mereka.
Hal ini tentu saja tidak dapat dikerjakan oleh negara. Perlu ada peran aktif dari masyarakat untuk ambil bagian dalam pendidikan ini. Banyak hal bisa dikerjakan dalam memajukan pendidikan Indonesia. Mulai dengan lingkungan keluarga dengan mendidik anak-anak (jangan hanya berharap pada pendidikan formal di sekolah), mendukung program anak asuh dengan manjadi donatur atau menjadi orang tua asuh, atau menjadi tenaga pendidik seperti program Indonesia Mengajar, dsb.
Kita merindukan bahwa Indonesia menjadi negara yang maju dikarenakan sistem pendidikan yang berkembang. Mulailah dari lingkungan yang ada disekitar kita.