Ada banyak
definisi budaya. Ada yang mendefinisikan kebudayaan sebagai alat ilahi, ada
juga yang mengatakan bahwa budaya adalah inkarnasi agama. Ada banyak penafsiran
tentang hal ini dan mungkin ada persetujuan maupun ketidaksetujuan terhadap hal
ini. Namun perlu juga memiliki kerendahan hati penulis.
Penulis
bertugas di Kalimantan Barat dengan keragaman suku diantara Melayu,
Tionghoa,Madura dan Dayak. Ada satu musibah tahunan yang selalu dialami yaitu
kabut asap. Asap tahunan ini memberi dampak bagi penerbangan, aktivitas
masyarakat, bahkan ada beberapa staf kami yang mengalami gangguan pernafasan
saat hal ini terjadi, dan dampak lainnya. Satu hal yang menarik perhatian penulis
saat berkomunikasi dengan beberapa orang
tentang asal muasal penyebab kabut asap
tersebut, ada yang mengatakan bahwa sumbernya adalah penduduk
local/masyarakat dayak yang punya kebiasaan untuk membuka lahan dengan membakar
karena murah. Ada juga yang mengatakan bahwa perusaahaan sawit yang melakukan,
dll. Pada satu kesempatan ada kegiatan kantor yang melibatkan BNPB wilayah
Kalbar yang juga adalah orang Dayak yang mengatakan bahwa itu bukan kebiasaan
orang Dayak. Ternyata suku dayak memiliki falsafah bahwa rumah mereka adalah
hutan, sehingga tidak mungkin mereka akan membakar hutan yang adalah rumah
mereka. Beberapa orang juga membenarkan
hal ini. Nilai-nilai yang dianut masyarakat dayak membentuk pola hidup dan
kebiasaan mereka.
Yesus pun dibesarkan oleh kedua orang tua Yahudi
dan hidup dalam tradisi masyarakat Yahudi yang sangat kental dengan tradisi dan
aturan-aturan hokum Taurat. Di masyarakat Yahudi ada orang-orang Farisi maupun
ahli-ahli Taurat yang taat dalam menjalankan aturan hukum Taurat. Namun
seringkali kita mendapati Yesus berkonfrontasi dengan mereka. Misalkan larangan
dari orang Farisi untuk memetik gandum di hari sabat ( Mat 12:1-2), dalam
perumpamaan tentang orang Samaria yang merawat musafir yang dirampok dalam
perjalanan dalam Lukas 10:25-37, dikisahkan imam dan orang Lewi yang tidak mau
merawat karena mereka akan melaksanakan ritual ibadah dimana tidak boleh
menyentuh darah menurut adat dan kebiasaan masyarakat Yahudi saat itu. Yesus
hadir memberi makna kepada tradisi masyarakat Yahudi tentang siapa yang
sebenarnya sesama manusia dari perumpamaan ini.
Jauh sebelumnya pada zaman nabi Yesaya, Tuhan juga
menegur umatNya yang melaksanakan ritual agamawi bahkan melakukan puasa dalam
Yesaya 58:1-12.
Yes 58:1-12.
Ketika membaca kitab ini, umat Tuhan lupa bahwa
hakikat puasa yang diinginkan Allah yaitu menegakkan keadilan (ay.6) dan
membagikan berkat kepada orang lain (ay.7,10). Hal ini membatalkan kuasa Allah
untuk menjawab doa mereka (ay 8-9,12). Yesaya diminta untuk menyerukan
pertobatan ini kepada umat Israel. Dan pada akhirnya janji pemulihan Tuhan akan
dikerjakan (ay 10-11).
Sebagai umat Tuhan yang Tuhan tempatkan disuatu wilayah.
Coba renungkan!
Sudah berapa lama gereja dan umat Tuhan hadir di wilayah kita
masing-masing!
Sejauh mana gereja dan umat Tuhan melaksanakan ritual ibadah kita?
Namun sejauh mana juga gereja dan umat Tuhan berperan dalam melihat
ketidakadilan di masyarakat (ay. 6) dan menjadi berkat bagi orang lain (ay
7,10)!
Bapak Agustinus Aurelius Asamani, sekretaris Dewan Paroki Yesus
Gembala yang Baik dari Kalabahi Pantar dalam buku Kutitipkan Damai Untukmu yang
diterbitkan oleh Wahana Visi Indonesia mengatakan bahwa Yesus hidup dalam adat budaya Yahudi, tetapi
Dia (Yesus) memberi nilai yang baru terhadap adat budaya Yahudi. Hal ini
disampaikannya dalam lokakarya pengurangan belis. Ternyata, sudah 40 tahun
budaya belis menjadi budaya yang memberatkan masyarakat Alor dan gereja sudah
hadir selama 120 tahun di Alor namun seakan gereja tertidur tidak kuasa menahan
kekuatan dendam dan perilaku buruk dalam masyarakat
Kutipan dari buku Transformasi gereja lokal dan masyarakat pada hlm
320 mengatakan bahwa
Gereja adalah
jendela yang melaluinya tiap-tiap orang dalam masyarakat Anda melihat Allah dan
kepedulianNya terhadap semua bidang kehidupan mereka.