Jumat, 11 November 2016

ToT Pengerja Gereja

Mimpi yang sederhana..
Pekerja yang sederhana...
Diskusi yang sederhana...

Itulah semua semua "kesederhanaan" yang kurasakan saat bersama mitra kerja kami di PGI Komisi Wanita. Mereka hanya bermodalkan hati untuk melayani. Sebuah tekad untuk  menyelamatkan generasi baru gereja dan juga generasi baru bangsa ini. Mereka mencintai anak-anak dan mau melayani mereka. Hal inilah yang menjadi dasar ketika kami membuat pelatihan Menuju Gereja Layak Anak.
Mereka terdiri dari 9 orang terpilih yang telah terlatih dan mengikuti pelatihan di batch sebelumnya. Sekalipun sulit untuk memilih yang terbaik dari yang terbaik namun yang menjadi kendala adalah komitmen mereka untuk mau dilatih dan menjadi pelatih. Tidak mudah memang, mengingat aktivitas gereja yang begitu padat dari masing-masing sinodal. Tapi, akhirnya mereka berkomitmen untuk itu.
Pelatihan ini dibuat semenarik mungkin dan diharapkan bisa menolong mitra kami untuk memiliki keterampilan membawakan materi seperti pelatihan yang mereka telah ikuti sebelumnya. Sekali lagi hati mereka lah yang membuat kami begitu takjub.
Kami mengupayakan untuk dapat menolong mereka dengan buku panduan serta pendampingan. Mengupayakan bahasa yang sederhana tapi pesannya bisa sampai kepada peserta menjadi sebuah tantangan tersendiri.

Revolusi Mental dan Budaya dimulai dari Keluarga

Tak terasa sudah tiga hari kami berada di kota Kenari, kepulauan Alor dengan rekan-rekan staf dan mitra Wahana Visi Indonesia yang berasal dari Nias, Jakarta, Kubu Raya, Sentani, Manggarai, Kupang, Palu dan Sigi. Kehadiran kami di Kepulauan Alor ini memiliki tujuan yang sama untuk belajar bersama menukis etnografi tentang budaya kawin mawin masyarakat pulau Alor yang disebut belis. Konon kami mendengar budaya kawin mawin yang dianugerahkan dan yang diperintahkan oleh Sang Khalik itu justru sekarang sangat memberatkan karena diisi dengan aksi saling baku tipu diantara masyarakat sendiri sejak nenek moyang mereka. Hal ini kemudian membuat biaya pernikahan adat masyarakat Alor menjadi sangat mahal dan mempengaruhi interaksi sosial masyarakatnya. Namun, ada waktu Tuhan yang menggerakkan orang-orangNya dari pemerintah, tokoh adat, dan tokoh agama untuk melakukan revitalisasi budaya (begitu sebutan masyarakat di tempat ini) sehingga belis disederhanakan dengan kesepakatan bersama di 7 rumpun suku masyarakat pulau Alor. Selama tiga hari kami dikarantina di Koperasi Kredit Tribuana Alor untuk belajar tulisan etnografi dan kemudian kami diberi kesempatan untuk mengaplikasikan apa yang kami pelajari bersama dengan melakukan wawancara di masyarakat dari beberapa rumpun suku yang telah melakukan revitalisasi budaya melalui penyederhanaan belis. Seluruh peserta pun dibagi dalam 7 kelompok, dan Sang Khalik membawa tim kami : Bapak Roy Chandra mitra dari WVI ADP Sentani, bapak Ferdinand dari WVI ADP Kupang dan Yoel Setiawan dari WVI Zonal Kalimantan Barat  untuk mengalami perjumpaan dengan Bapak Padamani dari rumpun suku Abui Welai.
Rupanya teriknya cuaca di pulau Alor ini belum juga bersahabat dengan kami sehingga perjalanan untuk bertemu dengan Bapak Padamani membuat kami harus sedikit berkipas-kipas sepanjang perjalanan bahkan selama kami berada di pulau ini. Ruangan Koperasi Kredit Tribuana Alor dan kamar hotel-lah yang dinantikan ketika kami mulai merasa teriknya matahari karena di kedua ruangan ini telah difasilitasi dengan AC.

Tidak sulit untuk bertemu dengan Bapak Padamani karena perjalanan dapat ditempuh dengan mobil selama 10 menit dari Koperasi Kredit Tribuana Alor menuju Mebung. Sebenarnya Bapak Padamani pada hari-hari biasanya ditemui di desa yang berjarak 40 km dari lokasi dimana kami menjumpainya sekarang, namun karena beliau juga adalah seorang pendeta gereja Kemah Injil yang berada tepat di samping rumahnya di Mebung sehingga beliau dan istri “turun gunung” pada hari sabtu dan minggu untuk mengerjakan tugasnya di gereja. Kami bertiga datang dengan ditemani bapak Asa salah seorang staf lokal WVI ADP Alor. Boma menjadi sapaan akrabnya. Boma sangat berperan menemani selama 2 hari kami menginap di rumah Bapak Padamani dalam proses interaksi dengan keluarga Bapak Padamani dan juga koordinasi dengan panitia.


Pada hari sabtu tanggal 5 November 2016, jam di handphone telah menunjukkan pukul 12.20 WITA saat kami tiba di rumah Bapak Padamani di Mebung. Kami disambut oleh Bapak Padamani bersama istri, dan Ibu Selfina yang adalah tetangga sekaligus keponakannya yang merasakan dampak positif revitalisasi budaya penyederhanaan belis. Diskusi pada hari pertama berlangsung di pekarangan rumah beliau sambutan yang hangat dari pihak keluarga dibawah pohon jambu mente. Tak lupa sepiring ubi ungu, sepiring ubi kayu, sepiring rambut, dan minuman dingin menemani diskusi kami. Selain berprofesi sebagai pendeta, Bapak Padamani juga adalah seorang tokoh adat dan kepala desa di Abui Welai. Beliau berusia 63 tahun dan memiliki 5 orang anak. Tiga orang diantaranya tinggal bersama beliau di Mebung dan dua diantaranya berada di Kupang untuk bekerja dan melanjutkan studi. Di rumah ini juga beliau tinggal bersama 2 orang anak angkatnya. Sebagai kepada desa, pendeta jemaat, dan tokoh adat pada kesempatan ini beliau banyak bercerita tentang prosesi pernikahan adat dari masuk minta (pelamaran) atau biasa juga disebut gantung daun-belis-kawin adat dan catatan sipil di gereja-moring, nilai belis dan dampak belis di Abui Welai sehingga mereka menyadari bahwa belis perlu untuk disederhanakan karena sudah memberatkan masyarakat. Proses revitalisasi budaya sendiri telah berjalan sejak tahun 2011 di Welai Lembur. Ada hal yang menarik perhatian penulis sehubungan dengan belis ini, karena sekalipun belis dianggap memberatkan dengan biaya yang mahal, namun suku Abui Welai tidak menghilangkannya tapi menyederhanakan nilai belis karena ada nilai-nilai penghargaan bagi kaum perempuan-atau nona-sebutan bagi perempuan Alor. Hal senada juga disampaikan Ibu Selfina Padamani, keponakan beliau, yang menikah di masa-masa permulaan revitalisasi budaya penyederhanaan nilai belis. Beliau merasakan ada tantangan dari keluarga sendiri ketika nilai belis disederhanakan saat akan menikah karena keluarga menghendaki belis dengan nilai yang sudah berlaku bertahun-tahun di masyarakat perlu diteruskan, tapi Bapak Padamani menganggap bahwa revitalisasi budaya penyederhanaan belis harus dimulai dari keluarga sendiri. Ketika penulis mendengar ucapan ini dari beliau, penulis teringat dengan revolusi mental yang didengung-dengungkan oleh pemerintahan Jokowi. Memang pada dasarnya untuk terjadi perubahan di bangsa ini harus dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Untuk terjadinya revitalisasi budaya penyederhanaan belis di rumpun suku Abui Welai memang harus dimulai dari kesadaran dan keinginan keluarga. Tentu tidak mudah untuk mengubah suatu tradisi yang berjalan secara turun temurun, namun selayaknya budaya yang menjadi identitas kelompok masyarakat tertentu seharusnya membuat kelompok masyarakatnya menjadi bermartabat dan lebih sejahtera.  

Gereja dalam Transformasi Budaya

Ada banyak definisi budaya. Ada yang mendefinisikan kebudayaan sebagai alat ilahi, ada juga yang mengatakan bahwa budaya adalah inkarnasi agama. Ada banyak penafsiran tentang hal ini dan mungkin ada persetujuan maupun ketidaksetujuan terhadap hal ini. Namun perlu juga memiliki kerendahan hati penulis.
Penulis bertugas di Kalimantan Barat dengan keragaman suku diantara Melayu, Tionghoa,Madura dan Dayak. Ada satu musibah tahunan yang selalu dialami yaitu kabut asap. Asap tahunan ini memberi dampak bagi penerbangan, aktivitas masyarakat, bahkan ada beberapa staf kami yang mengalami gangguan pernafasan saat hal ini terjadi, dan dampak lainnya. Satu hal yang menarik perhatian penulis saat berkomunikasi dengan beberapa  orang tentang asal muasal penyebab kabut asap  tersebut, ada yang mengatakan bahwa sumbernya adalah penduduk local/masyarakat dayak yang punya kebiasaan untuk membuka lahan dengan membakar karena murah. Ada juga yang mengatakan bahwa perusaahaan sawit yang melakukan, dll. Pada satu kesempatan ada kegiatan kantor yang melibatkan BNPB wilayah Kalbar yang juga adalah orang Dayak yang mengatakan bahwa itu bukan kebiasaan orang Dayak. Ternyata suku dayak memiliki falsafah bahwa rumah mereka adalah hutan, sehingga tidak mungkin mereka akan membakar hutan yang adalah rumah mereka. Beberapa orang juga  membenarkan hal ini. Nilai-nilai yang dianut masyarakat dayak membentuk pola hidup dan kebiasaan mereka.
Yesus pun dibesarkan oleh kedua orang tua Yahudi dan hidup dalam tradisi masyarakat Yahudi yang sangat kental dengan tradisi dan aturan-aturan hokum Taurat. Di masyarakat Yahudi ada orang-orang Farisi maupun ahli-ahli Taurat yang taat dalam menjalankan aturan hukum Taurat. Namun seringkali kita mendapati Yesus berkonfrontasi dengan mereka. Misalkan larangan dari orang Farisi untuk memetik gandum di hari sabat ( Mat 12:1-2), dalam perumpamaan tentang orang Samaria yang merawat musafir yang dirampok dalam perjalanan dalam Lukas 10:25-37, dikisahkan imam dan orang Lewi yang tidak mau merawat karena mereka akan melaksanakan ritual ibadah dimana tidak boleh menyentuh darah menurut adat dan kebiasaan masyarakat Yahudi saat itu. Yesus hadir memberi makna kepada tradisi masyarakat Yahudi tentang siapa yang sebenarnya sesama manusia dari perumpamaan ini.
Jauh sebelumnya pada zaman nabi Yesaya, Tuhan juga menegur umatNya yang melaksanakan ritual agamawi bahkan melakukan puasa dalam Yesaya 58:1-12.

Yes 58:1-12.
Ketika membaca kitab ini, umat Tuhan lupa bahwa hakikat puasa yang diinginkan Allah yaitu menegakkan keadilan (ay.6) dan membagikan berkat kepada orang lain (ay.7,10). Hal ini membatalkan kuasa Allah untuk menjawab doa mereka (ay 8-9,12). Yesaya diminta untuk menyerukan pertobatan ini kepada umat Israel. Dan pada akhirnya janji pemulihan Tuhan akan dikerjakan (ay 10-11).
Sebagai umat Tuhan yang Tuhan tempatkan disuatu wilayah.
Coba renungkan!
Sudah berapa lama gereja dan umat Tuhan hadir di wilayah kita masing-masing!
Sejauh mana gereja dan umat Tuhan melaksanakan ritual ibadah kita?
Namun sejauh mana juga gereja dan umat Tuhan berperan dalam melihat ketidakadilan di masyarakat (ay. 6) dan menjadi berkat bagi orang lain (ay 7,10)!

Bapak Agustinus Aurelius Asamani, sekretaris Dewan Paroki Yesus Gembala yang Baik dari Kalabahi Pantar dalam buku Kutitipkan Damai Untukmu yang diterbitkan oleh Wahana Visi Indonesia mengatakan bahwa  Yesus hidup dalam adat budaya Yahudi, tetapi Dia (Yesus) memberi nilai yang baru terhadap adat budaya Yahudi. Hal ini disampaikannya dalam lokakarya pengurangan belis. Ternyata, sudah 40 tahun budaya belis menjadi budaya yang memberatkan masyarakat Alor dan gereja sudah hadir selama 120 tahun di Alor namun seakan gereja tertidur tidak kuasa menahan kekuatan dendam dan perilaku buruk dalam masyarakat

Kutipan dari buku Transformasi gereja lokal dan masyarakat pada hlm 320 mengatakan bahwa
Gereja adalah jendela yang melaluinya tiap-tiap orang dalam masyarakat Anda melihat Allah dan kepedulianNya terhadap semua bidang kehidupan mereka.