Jumat, 11 November 2016

Revolusi Mental dan Budaya dimulai dari Keluarga

Tak terasa sudah tiga hari kami berada di kota Kenari, kepulauan Alor dengan rekan-rekan staf dan mitra Wahana Visi Indonesia yang berasal dari Nias, Jakarta, Kubu Raya, Sentani, Manggarai, Kupang, Palu dan Sigi. Kehadiran kami di Kepulauan Alor ini memiliki tujuan yang sama untuk belajar bersama menukis etnografi tentang budaya kawin mawin masyarakat pulau Alor yang disebut belis. Konon kami mendengar budaya kawin mawin yang dianugerahkan dan yang diperintahkan oleh Sang Khalik itu justru sekarang sangat memberatkan karena diisi dengan aksi saling baku tipu diantara masyarakat sendiri sejak nenek moyang mereka. Hal ini kemudian membuat biaya pernikahan adat masyarakat Alor menjadi sangat mahal dan mempengaruhi interaksi sosial masyarakatnya. Namun, ada waktu Tuhan yang menggerakkan orang-orangNya dari pemerintah, tokoh adat, dan tokoh agama untuk melakukan revitalisasi budaya (begitu sebutan masyarakat di tempat ini) sehingga belis disederhanakan dengan kesepakatan bersama di 7 rumpun suku masyarakat pulau Alor. Selama tiga hari kami dikarantina di Koperasi Kredit Tribuana Alor untuk belajar tulisan etnografi dan kemudian kami diberi kesempatan untuk mengaplikasikan apa yang kami pelajari bersama dengan melakukan wawancara di masyarakat dari beberapa rumpun suku yang telah melakukan revitalisasi budaya melalui penyederhanaan belis. Seluruh peserta pun dibagi dalam 7 kelompok, dan Sang Khalik membawa tim kami : Bapak Roy Chandra mitra dari WVI ADP Sentani, bapak Ferdinand dari WVI ADP Kupang dan Yoel Setiawan dari WVI Zonal Kalimantan Barat  untuk mengalami perjumpaan dengan Bapak Padamani dari rumpun suku Abui Welai.
Rupanya teriknya cuaca di pulau Alor ini belum juga bersahabat dengan kami sehingga perjalanan untuk bertemu dengan Bapak Padamani membuat kami harus sedikit berkipas-kipas sepanjang perjalanan bahkan selama kami berada di pulau ini. Ruangan Koperasi Kredit Tribuana Alor dan kamar hotel-lah yang dinantikan ketika kami mulai merasa teriknya matahari karena di kedua ruangan ini telah difasilitasi dengan AC.

Tidak sulit untuk bertemu dengan Bapak Padamani karena perjalanan dapat ditempuh dengan mobil selama 10 menit dari Koperasi Kredit Tribuana Alor menuju Mebung. Sebenarnya Bapak Padamani pada hari-hari biasanya ditemui di desa yang berjarak 40 km dari lokasi dimana kami menjumpainya sekarang, namun karena beliau juga adalah seorang pendeta gereja Kemah Injil yang berada tepat di samping rumahnya di Mebung sehingga beliau dan istri “turun gunung” pada hari sabtu dan minggu untuk mengerjakan tugasnya di gereja. Kami bertiga datang dengan ditemani bapak Asa salah seorang staf lokal WVI ADP Alor. Boma menjadi sapaan akrabnya. Boma sangat berperan menemani selama 2 hari kami menginap di rumah Bapak Padamani dalam proses interaksi dengan keluarga Bapak Padamani dan juga koordinasi dengan panitia.


Pada hari sabtu tanggal 5 November 2016, jam di handphone telah menunjukkan pukul 12.20 WITA saat kami tiba di rumah Bapak Padamani di Mebung. Kami disambut oleh Bapak Padamani bersama istri, dan Ibu Selfina yang adalah tetangga sekaligus keponakannya yang merasakan dampak positif revitalisasi budaya penyederhanaan belis. Diskusi pada hari pertama berlangsung di pekarangan rumah beliau sambutan yang hangat dari pihak keluarga dibawah pohon jambu mente. Tak lupa sepiring ubi ungu, sepiring ubi kayu, sepiring rambut, dan minuman dingin menemani diskusi kami. Selain berprofesi sebagai pendeta, Bapak Padamani juga adalah seorang tokoh adat dan kepala desa di Abui Welai. Beliau berusia 63 tahun dan memiliki 5 orang anak. Tiga orang diantaranya tinggal bersama beliau di Mebung dan dua diantaranya berada di Kupang untuk bekerja dan melanjutkan studi. Di rumah ini juga beliau tinggal bersama 2 orang anak angkatnya. Sebagai kepada desa, pendeta jemaat, dan tokoh adat pada kesempatan ini beliau banyak bercerita tentang prosesi pernikahan adat dari masuk minta (pelamaran) atau biasa juga disebut gantung daun-belis-kawin adat dan catatan sipil di gereja-moring, nilai belis dan dampak belis di Abui Welai sehingga mereka menyadari bahwa belis perlu untuk disederhanakan karena sudah memberatkan masyarakat. Proses revitalisasi budaya sendiri telah berjalan sejak tahun 2011 di Welai Lembur. Ada hal yang menarik perhatian penulis sehubungan dengan belis ini, karena sekalipun belis dianggap memberatkan dengan biaya yang mahal, namun suku Abui Welai tidak menghilangkannya tapi menyederhanakan nilai belis karena ada nilai-nilai penghargaan bagi kaum perempuan-atau nona-sebutan bagi perempuan Alor. Hal senada juga disampaikan Ibu Selfina Padamani, keponakan beliau, yang menikah di masa-masa permulaan revitalisasi budaya penyederhanaan nilai belis. Beliau merasakan ada tantangan dari keluarga sendiri ketika nilai belis disederhanakan saat akan menikah karena keluarga menghendaki belis dengan nilai yang sudah berlaku bertahun-tahun di masyarakat perlu diteruskan, tapi Bapak Padamani menganggap bahwa revitalisasi budaya penyederhanaan belis harus dimulai dari keluarga sendiri. Ketika penulis mendengar ucapan ini dari beliau, penulis teringat dengan revolusi mental yang didengung-dengungkan oleh pemerintahan Jokowi. Memang pada dasarnya untuk terjadi perubahan di bangsa ini harus dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Untuk terjadinya revitalisasi budaya penyederhanaan belis di rumpun suku Abui Welai memang harus dimulai dari kesadaran dan keinginan keluarga. Tentu tidak mudah untuk mengubah suatu tradisi yang berjalan secara turun temurun, namun selayaknya budaya yang menjadi identitas kelompok masyarakat tertentu seharusnya membuat kelompok masyarakatnya menjadi bermartabat dan lebih sejahtera.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar