Tak terasa sudah tiga hari kami berada di kota Kenari,
kepulauan Alor dengan rekan-rekan staf dan mitra Wahana Visi Indonesia yang
berasal dari Nias, Jakarta, Kubu Raya, Sentani, Manggarai, Kupang, Palu dan
Sigi. Kehadiran kami di Kepulauan Alor ini memiliki tujuan yang sama untuk
belajar bersama menukis etnografi tentang budaya kawin mawin masyarakat pulau
Alor yang disebut belis. Konon kami mendengar budaya kawin mawin yang dianugerahkan
dan yang diperintahkan oleh Sang Khalik itu justru sekarang sangat memberatkan
karena diisi dengan aksi saling baku tipu diantara masyarakat sendiri sejak
nenek moyang mereka. Hal ini kemudian membuat biaya pernikahan adat masyarakat
Alor menjadi sangat mahal dan mempengaruhi interaksi sosial masyarakatnya. Namun,
ada waktu Tuhan yang menggerakkan orang-orangNya dari pemerintah, tokoh adat,
dan tokoh agama untuk melakukan revitalisasi budaya (begitu sebutan masyarakat
di tempat ini) sehingga belis disederhanakan dengan kesepakatan bersama di 7
rumpun suku masyarakat pulau Alor. Selama tiga hari kami dikarantina di
Koperasi Kredit Tribuana Alor untuk belajar tulisan etnografi dan kemudian kami
diberi kesempatan untuk mengaplikasikan apa yang kami pelajari bersama dengan
melakukan wawancara di masyarakat dari beberapa rumpun suku yang telah
melakukan revitalisasi budaya melalui penyederhanaan belis. Seluruh peserta pun
dibagi dalam 7 kelompok, dan Sang Khalik membawa tim kami : Bapak Roy Chandra
mitra dari WVI ADP Sentani, bapak Ferdinand dari WVI ADP Kupang dan Yoel
Setiawan dari WVI Zonal Kalimantan Barat
untuk mengalami perjumpaan dengan Bapak Padamani dari rumpun suku Abui Welai.
Rupanya teriknya cuaca di pulau Alor ini belum juga
bersahabat dengan kami sehingga perjalanan untuk bertemu dengan Bapak Padamani
membuat kami harus sedikit berkipas-kipas sepanjang perjalanan bahkan selama
kami berada di pulau ini. Ruangan Koperasi Kredit Tribuana Alor dan kamar
hotel-lah yang dinantikan ketika kami mulai merasa teriknya matahari karena di
kedua ruangan ini telah difasilitasi dengan AC.
Tidak sulit untuk bertemu dengan Bapak Padamani karena
perjalanan dapat ditempuh dengan mobil selama 10 menit dari Koperasi Kredit
Tribuana Alor menuju Mebung. Sebenarnya Bapak Padamani pada hari-hari biasanya
ditemui di desa yang berjarak 40 km dari lokasi dimana kami menjumpainya
sekarang, namun karena beliau juga adalah seorang pendeta gereja Kemah Injil
yang berada tepat di samping rumahnya di Mebung sehingga beliau dan istri
“turun gunung” pada hari sabtu dan minggu untuk mengerjakan tugasnya di gereja.
Kami bertiga datang dengan ditemani bapak Asa salah seorang staf lokal WVI ADP
Alor. Boma menjadi sapaan akrabnya. Boma sangat berperan menemani selama 2 hari
kami menginap di rumah Bapak Padamani dalam proses interaksi dengan keluarga
Bapak Padamani dan juga koordinasi dengan panitia.
Pada hari sabtu tanggal 5 November 2016, jam di handphone
telah menunjukkan pukul 12.20 WITA saat kami tiba di rumah Bapak Padamani di
Mebung. Kami disambut oleh Bapak Padamani bersama istri, dan Ibu Selfina yang adalah
tetangga sekaligus keponakannya yang merasakan dampak positif revitalisasi
budaya penyederhanaan belis. Diskusi pada hari pertama berlangsung di
pekarangan rumah beliau sambutan yang hangat dari pihak keluarga dibawah pohon
jambu mente. Tak lupa sepiring ubi ungu, sepiring ubi kayu, sepiring rambut,
dan minuman dingin menemani diskusi kami. Selain berprofesi sebagai pendeta,
Bapak Padamani juga adalah seorang tokoh adat dan kepala desa di Abui Welai. Beliau
berusia 63 tahun dan memiliki 5 orang anak. Tiga orang diantaranya tinggal
bersama beliau di Mebung dan dua diantaranya berada di Kupang untuk bekerja dan
melanjutkan studi. Di rumah ini juga beliau tinggal bersama 2 orang anak
angkatnya. Sebagai kepada desa, pendeta jemaat, dan tokoh adat pada kesempatan ini beliau banyak bercerita tentang prosesi pernikahan
adat dari masuk minta (pelamaran) atau biasa juga disebut gantung daun-belis-kawin
adat dan catatan sipil di gereja-moring, nilai belis dan dampak belis di Abui Welai
sehingga mereka menyadari bahwa belis perlu untuk
disederhanakan karena sudah memberatkan masyarakat. Proses revitalisasi budaya
sendiri telah berjalan sejak tahun 2011 di Welai Lembur. Ada hal yang menarik
perhatian penulis sehubungan dengan belis ini, karena sekalipun belis dianggap
memberatkan dengan biaya yang mahal, namun suku Abui Welai tidak
menghilangkannya tapi menyederhanakan nilai belis karena ada nilai-nilai
penghargaan bagi kaum perempuan-atau nona-sebutan bagi perempuan Alor. Hal
senada juga disampaikan Ibu Selfina Padamani, keponakan beliau, yang menikah di
masa-masa permulaan revitalisasi budaya penyederhanaan nilai belis. Beliau
merasakan ada tantangan dari keluarga sendiri ketika nilai belis disederhanakan
saat akan menikah karena keluarga menghendaki belis dengan nilai yang sudah
berlaku bertahun-tahun di masyarakat perlu diteruskan, tapi Bapak Padamani
menganggap bahwa revitalisasi budaya penyederhanaan belis harus dimulai dari
keluarga sendiri. Ketika penulis mendengar ucapan ini dari beliau, penulis
teringat dengan revolusi mental yang didengung-dengungkan oleh pemerintahan
Jokowi. Memang pada dasarnya untuk terjadi perubahan di bangsa ini harus
dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Untuk terjadinya revitalisasi
budaya penyederhanaan belis di rumpun suku Abui Welai memang harus dimulai dari
kesadaran dan keinginan keluarga. Tentu tidak mudah untuk mengubah suatu
tradisi yang berjalan secara turun temurun, namun selayaknya budaya yang menjadi
identitas kelompok masyarakat tertentu seharusnya membuat kelompok
masyarakatnya menjadi bermartabat dan lebih sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar